Jumat, 13 Januari 2012

ISLAM DAN PENDIDIKAN

Pendidikan adalah sebuah media bagi terjadinya transformasi nilai dan ilmu yang berfungsi sebagai pencetus corak kebudayaan dan peradaban manusia. Pendidikan bersinggungan dengan upaya pengembangan dan pembinaan seluruh potensi manusia (ruhaniah dan jasadiyah) tanpa terkecuali dan tanpa prioritas dari sejumlah potensi yang ada. Dengan pengembangan dan pembinaan seluruh potensi tersebut, pendidikan diharapkan dapat mengantarkan manusia pada suatu pencapaian tingkat kebudayaan yang yang menjunjung hakikat kemanusiaan manusia.

Pendidikan berwawasan kemanusiaan memberikan pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subyek pendidikan, bukan sebagai obyek yang memilah-milah potensi (fitrah) manusia. Artinya, pendidikan adalah suatu upaya memperkenalkan manusia akan eksistensi dirinya, baik sebagai diri pribadi yang hidup bersama hamba Tuhan yang terikat oleh hukum normatif (syariat) dan sekaligus sebagai khalifah di bumi.
Konsep pendidikan yang mengenyampingkan dasar-dasar tersebut, adalah pendidikan yang akan mencetak manusia-manusia tanpa kesadaran etik, yang pada akhirnya melahirkan cara pandang dan cara hidup yang tidak lagi konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu perlu adanya konseptualisasi ilmu dalam pendekatan filsafati yang merupakan kerangka dasar dalam upaya memperjelas dan meluruskan cara pandang manusia, baik mengenai dirinya, alam lingkungan, maupun terhadap campur tangan Allah SWT.
Pada dasarnya, Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (QS.As-Syams :8 ; QS. Adz Dzariyat:56). Oleh karena itu, pendidikan berarti suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, berfikir dan berkarya, untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya.
Islam adalah panduan hidup manusia di dunia dan akhirat yang bukan sekedar agama seperti dipahami selama ini, tetapi meliputi seluruh aspek dam kebutuhan hidup manusia. Ilmu dalam Islam meliputi semua aspek ini yang bisa disusun secara hirarkis dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia hingga makhluk gaib dan puncak kegaiban. Susunan ilmu tentang banyak aspek ini bisa dikaji dari pemikiran Islam. Mengingat seluruh tradisi keagamaan dalam sejarah umat manusia mulai dari nabi Adam diklaim sebagai Islam dan seluruh alam natural dan humanitas sebagai ayat-ayat Tuhan, maka seluruh ilmu tentang hal ada, merupaka ilmu tentang ayat-ayat Tuhan dan Islam itu sendiri.

Sepanjang sejarah otentik Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bersumber dari dua bentuk wahyu, yakni ayat-ayat Alqur’an dan ayat-ayat kauniyah (sunnatullah). Wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksplanatif, dan wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi dan ekspperimental secara sistematis, lalu keduanya disatukan di dalam filsafat dengan segala tingkatannya. Al-Qur’an sendiri memberikan informasi tentang wahyu Tuhan yang telah diturunkan sejak masa Nabi Adam. Diperkirakan masa Yunani yang memproduksi tradisi filsafat awal berlangsung sezaman dengan turunnya Zabur kepada Nabi Daud dan Taurot kepada Nabi Musa (A. Munir Mulkhan, 2002)
Dalam kesajarahan, Islam pernah membuktikan diri sebagai umat yang memiliki peradaban gemilang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengungguli kejayaan Eropa pada masa lalu. Islam telah mewariskan tokoh ilmuwan besar seperti Al Jabir, Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Kindi dan lainnya. Oleh karenanya, keharusan kembali melihat khazanah dan etos keilmuan di masa lalu itu menjadi salah satu penekanan, mengingat khazanah pengetahuan Islam masa lalu yang kaya dengan semangat inklusivismenya dan juga kekayaan nuansa spiritual. Sayangnya, hal itu kurang mendapat apresiasi berimbang dalam dunia ilmiah akademik dewasa ini. Tekanan imperialisme epistemologi dari pengetauan Barat Modern yang kini telah mewabah, dirasakan cukup kuat menjebak dan menggiring kehidupan intelektual dan akademik, secara perlahan tapi pasti dapat melalaikan apa yang yang telah menjadi kekayaan intlektual umat Islam masa lalu
Ada banyak sebab mengapa Islam belum mampu membangun kerangka paradigma yang lain untuk mengenyahkan imperialisme paradigma pengetauan Barat Modern, diantaranya, apresiasi terhadap khazanah intelektual Islam lama, masih berkutat dan berputar-putar pada produk jadi (Amin Abdullah, 1995) ketimbang pada etos keilmuan terutama metodologi yang dikembangkan oleh para pemikir muslim masa lalu. Selain itu, membangun paradigma pengetahuan Islam yang terpadu akan mengalami kesulitan manakala masih terdapat sikap dikotomis di kalangan umat yang memisahkan ilmu-ilmu agama (wilayah naqliyah) dengan ilmu-ilmu umum (wilayah ‘aqliyah).
Untuk itu diperlukan konseptualisasi ilmu dalam pendidikan, yang menawarkan adanya ilmu naqliyah yang melandasi semua ilmu aqliyah, sehingga diharapkan dapat mengintegrasikan antara akal dan wahyu, ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama dalam proses pendidikan. Sehingga, melalui upaya tersebut dapat merealisasikan proses memanusiakan manusia sebagai tujuan pendidikan, yaitu mengajarkan, mengasuh, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan mereka merealisasikan fungsi dan risalah kemanusiaannya di hadapan Allah SWT, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT dan menjalankan misi kekhalifahan di muka bumi, sebagai makhluk yang berupaya mengiplementasikan nilai-nilai ilahiyah dengan memakmurkan kehidupan dalam tatanan hidup bersama dengan aman, damai dan sejahtera